Sumber-Sumber Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Sumber
pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah dapat dilihat atau
diukur dari tiga pendekatan yaitu, pendekatan faktor produksi (Neo
Klasik), pendekatan sektoral dan pendekatan pengeluaran yang meliputi
konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan selisih ekspor dengan
impor. Dalam pendekatan faktor produksi, sumber pertumbuhan ekonomi
dilihat dari faktor-faktor produksi yaitu modal (capital),
tenaga kerja (man power) dan kemajuan teknologi (technology
progress). Selanjutnya, untuk melihat sumber pertumbuhan ekonomi
dari pendekatan sektoral yaitu dilihat dari sektor-sektor ekonomi.
Sektor ekonomi dalam hal ini dapat dibagi dalam 3 sektor saja yaitu
sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder dan
kontruksi serta sektor tersier (jasa-jasa).
1. Pertumbuhan
Ekonomi dari Faktor Produksi
Untuk mengukur berapa
besar kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap pertumbuhan
ekonomi suatu perekono-mian dapat digunakan model Neo-Klasik dari Robert
Solow dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas yang telah diubah
dalam bentuk linear yaitu sebagai berikut:
Ln Y = ln a + β
ln K + l ln L + e
Selanjutnya, untuk
mengetahui besarnya kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka model tersebut digunakan dengan
beberapa perubahan. Untuk variabel modal diprediksi dengan tingkat investasi total (investasi asing, investasi
swasta dan investasi pemerintah) dengan menggunakan data
tahun 1969–1993.
Untuk keperluan analisis
digunakan data periode 1969 – 1993 dan model Neo-Klasik dari Solow
dengan fungsi produksi Cobb-Douglas dalam bentuk linear yang
bersifat constant return to scale. Dalam model tersebut, Y
merupakan pertumbuhan ekonomi yang diprediksi dari PDB, K
adalah kapital yang diprediksi dari investasi dan L adalah
jumlah tenaga kerja yang diserap oleh semua sektor. Dari hasil analisis
komputer diperoleh hasil sebagai berikut:
Ln Y = 3,152 +
0,321 Ln K + 1,264 Ln L
(11.521)
(4.945) (7.210)
R2 = 0,98
F hitung = 510.713
Dalam kurung (…) = t
hitung
Selanjutnya berdasarkan
data historis diketahui bahwa, tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia
selama periode 1969–1993 rata-rata sebesar 7,11 persen per tahun.
Tingkat pertum-buhan investasi rata-rata sebesar 9,91 persen per tahun,
dan tingkat pertumbuhan penyerapan tenaga kerja rata-rata adalah sebesar
2,88 persen per tahun. Untuk mengukur besarnya sumbangan atau
kontribusi masing-masing faktor produksi terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia digunakan rumus seperti yang telah digunakan oleh Alfian Lains
(1990) dengan metode Denisson (1962) yaitu sebagai berikut:
rXi
Kr
Xi = ——————- x koefisien Xi
rY
|
KrXi = kontribusi variabel Xi terhadap Y
rXi = rata-rata pertumbuhan variabel Xi
per tahun
r Y = rata-rata pertumbuhan Y
Dari hasil analisis dengan
menggunakan model tersebut di atas, diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi
di Indonesia sangat dipengaruhi oleh investasi dan tenaga kerja. Dengan
kata lain, bahwa, pertumbuhan ekonomi Indonesia diantaranya dipengaruhi
oleh adanya peningkatan investasi yang bersifat langsung. Ini berarti
bahwa, pertumbuhan ekonomi Indonesia selama Pembangunan Jangka Panjang
pertama disebabkan karena adanya peningkatan kuantitas
investasi, bukan karena adanya peningkatan kualitas investasi seperti
yang terjadi di banyak negara-negara maju. Peningkatan kuantitas
investasi tidak banyak berperan dalam meningkatkan kapasitas ekonomi
atau skala ekonomi (economic scale). Kontribusi investasi
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia adalah sebesar 44,79 persen.
Faktor produksi tenaga
kerja mempunyai pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama PJP I. Nilai elastisitas tenaga kerja terhadap PDB
Indonesia adalah sebesar 1,264. Nilai elastisitas ini menerangkan bahwa,
jika terjadi peningkatan produktivitas tenaga kerja sebesar 10 persen,
maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 12,64 persen.
Selanjutnya, setelah dihitung berdasarkan nilai elastisitas terse-but,
maka kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia
adalah sebesar 51,20 persen.
Kemajuan teknologi atau
faktor produktivitas total (Total Productivity Factor)
merupakan bagian dari kegiatan produksi yang sangat penting. Karena,
dengan adanya kemajuan teknologi, produktivitas modal maupun tenaga
kerja dapat ditingkatkan lebih besar lagi dibandingkan dengan adanya
peningkatan modal maupun tenaga kerja saja. Pengukuran kemajuan
teknologi dalam pertumbuhan ekonomi memang merupakan masalah yang tidak
mudah. Kemajuan teknologi dapat dilihat dari beberapa aspek seperti dari
aspek manajemen, tingkat pendidikan, penggunaan teknik-teknik baru dan
lain sebagainya. Dalam hal ini, yang menjadi persoalan bukan dari aspek
mana melihat kemajuan teknologi tersebut, tetapi yang lebih penting
adalah berapa besar kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Kemajuan teknologi dalam
pertumbuhan ekonomi menurut Robert Solow (1957) merupakan residu dari
kontribusi modal ditambah kontribusi tenaga kerja atau dikenal dengan
perubahan teknologi (technology changes). Dari hasil
perhitungan, ternyata kontribusi kemajuan teknologi terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia selama PJP 1 (1969 – 1993) hanya sebesar 4,01
persen. Dibandingkan dengan hasil penelitian, Robert Solow (1957),
Denison (1962, 1967), dan Kuznets (1971), ternyata kontribusi kemajuan
teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia sangat rendah.
Tabel 1. Kontribusi faktor produksi terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1969 – 1993
Variabel
|
Pertumbuhan/
tahun
|
Koefisien
|
Kontribusi
(
% )
|
Modal/Investasi
|
9,91 %
|
0,321
|
44,79
|
Tenaga
Kerja
|
2,88 %
|
1,264
|
51,20
|
Kemajuan
Teknologi
|
-
|
3,112
|
4,01
|
Rata-rata
Pertumbuhan ekonomi
|
7,11 %
|
-
|
100,00
|
Sumber : Hasil
Analisis
Rendahnya kontribusi
teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa,
teknologi di Indonesia masih relatif rendah dibandingkan dengan negara
tetanga. Selain itu dari perhitungan Hal Hill (1995) terhadap beberapa
indikator perkembangan teknologi, Indonesia memang tertinggal diban-ding
dengan India, Singapura, Malaysia, Filipina dan Thailand. Beberapa
indikator perkembangan ilmu pengatahuan dan teknologi beberap negara
tersebut dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Beberapa indikator perkembangan Iptek di
beberapa negara Asia
(tahun 1990-an)
Indikator
|
Indonesia
|
India
|
Malaysia
|
Filipina
|
Singapura
|
Thailand
|
1.Pengeluaran Litbang
thdp PNB (%).
2. Pengeluaran
Litbang per kapita (US$).
3.Pengeluaran
Pemerintah untuk pendidikan thp PNB (1992) (%)
4.Pengeluaran
Pemerintah utk Pendi-dikan sbgi % dari total.
5.Jumlah mahasiswa
sbg % golongan pendidikan (1991).
|
0,2
0,9
1,9
9,8
10
|
0,9
2,7
-
-
-
|
0,1
2,1
5,8
19,6
7
|
0,1
0,7
2,9
15,0
28
|
0,9
68,1
5,2
22,9
-
|
0,2
1,9
3,2
21,1
16
|
Dari data pada Tabel 2
tersebut terlihat bahwa, kondisi indikator perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi Indonesia tidak sebaik negara Malaysia maupun Singapura
daan bahkan dibandingkan dengan Thailand saja Indoesia jauh tertinggal.
Bahkan bila dilihat dari pengeluaran penelitian dan pengembangan
(Litbang) per kapita, ternyata posisi Indonesia menunjukkan tingkat yang
terendah setelah Filipina. Fakta ini menunjukkan bahwa, tidaklah keliru
nbila sumbangan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia rendah
seperti yang telah dihasilkan dalam analisis di atas. Jika indonesia
ingin meningkatkan peran teknologi dalam pertumbuhan ekonomi, maka
pendidikan dan penelitian harus terus ditingkatkan.
Selanjutnya dari hasil
penelitian Kuznets (1966) di Amerika Serikat menunjukkan bahwa,
kontribusi kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan ekonomi Amerika
Serikat pada periode 1929-1957 adalah sebesar 78 persen dan pada periode
1950-1962 sebesar 56 persen. Sedangkan hasil penelitian Boskin dan Lau
(1992) menunjukkan bahwa, kontribusi kemajuan tekno-logi terhadap
pertumbuhan ekonomi di beberapa negara maju tidak jauh berbeda dengan
hasil penelitian Kuznets tersebut yaitu sekitar 49 sampai 76 persen.
Berdasarkan studi empiris
Boskin dan Lau (1992) di lima negara maju menunjukkan bahwa, terdapat
komplementaris yang kuat antara kemajuan teknologi (technology
progress) dan pemben-tukan modal (capital formation).
Artinya bahwa manfaat ekonomi (economic pay off) dari inovasi
teknologi sangat tergantung pada perkembangan modal itu sendiri. Dilihat
dari pengeluaran untuk riset dan pengembangan (R & D) di
Indonesia, ternyata rasio pengeluaran untuk R & D dari PDB Indonesia
hanya 0,16 persen, sedangkan di negara-negara maju seperti Jepang
sebesar 2,8 persen dari PDB-nya, Korea Selatan sebesar 2,2 persen dari
PDB-nya dan Taiwan sebesar 1,7 persen dari PDB-nya (Dillon: 1999).
Selanjutnya, hasil
penelitian Central Strategic Economy Studies (CSES)
Melbourne University Australia menunjukkan bahwa, indeks komposisi
teknologi ekspor manufaktur Indonesia tergolong rendah yaitu sebesar
0,19. Indeks ini lebih rendah dibandingkan dengan indeks komposisi
teknologi ekspor manufaktur Malaysia yang besarnya 0,24; Korea sebesar
0,37; Taiwan sebesar 0,57; Singapura sebesar 0,47 dan Jepang sebesar
0,80 (David Ray; 1996).
Bila kontribusi kemajuan
teknologi yang merupakan hasil daya cipta manusia dan kontribusi tenaga
kerja dijumlahkan, maka keduanya dapat dikatakan merupakan kontribusi
sumber-daya manusia. Hal ini berlaku karena menurut Hicks, kemajuan
teknologi itu terkandung (embodied) pada tenaga kerja atau
modal, sedangkan menurut new growth theory, kemajuan tekno-logi
merupakan faktor endogen dalam model pertumbuhan ekonomi.
Tabel 3. Sumber pertumbuhan ekonomi di beberapa
negara maju (dalam %)
Negara
|
Modal
|
Tenaga
Kerja
|
Teknologi
|
Studi Boskin & Lau 1992
1. Perancis
2. Jerman Barat
3. Jepang
4. Inggris
5. Amerika Serikat
Dugaan Konvensional
1. Perancis
2. Jerman Barat
3. Jepang
4. Inggris
5. Amerika Serikat
|
28
32
40
32
24
56
69
72
55
47
|
-4
-10
5
-5
27
-4
-11
5
-6
30
|
76
76
55
73
49
48
42
23
51
23
|
Sumber: Boskin dan Lau
(1992)
Hasil analisis di atas
menunjukkan bahwa, modal atau investasi merupakan sumber pertumbuhan
ekonomi utama bagi perekonomian Indonesia. Tanpa modal maka, pertumbuhan
ekonomi akan sulit untuk meningkat lebih baik. Padahal berda-sarkan
pengalaman negara-negara maju, kemampuan teknologi-lah yang merupakan
sumber pertumbuhan ekonomi terbesar. Kemampuan teknologi sangat
tergantung pada kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM). Karena itu, jika
Indonesia ingin tingkat pertumbuhan ekonominya lebih tinggi, maka
kemampuan SDM yang ada harus ditingkatkan melalui pendi-dikan,
peningkatan disiplin kerja dan penghargaan yang tinggi pada SDM yang
berprestasi dan berkualitas. Tanpa itu semua, akan sulit bagi Indonesia
untuk bangkit sejajar dengan negara lain yang telah maju.
Tabel 4. Indeks komposisi teknologi ekspor
manufaktur di beberapa negara Asia Timur
Negara
|
1970
|
1993
|
1993*
|
1. Indonesia
2.
Malaysia
3.
Korea
4.
Taiwan
5.
Singapura
6.
Jepang
7.
China
8.
Filipina
9.
Muangthai
|
0,19
0,24
0,37
0,57
0,47
0,80
0,22
0,10
0,15
|
0,34
1,72
1,07
1,19
1,79
1,30
0,58
0,95
0,92
|
0,24
0,47
0,53
0,50
0,67
0,89
0,36
0,33
0,43
|
Sumber: Penarikan
CSES, dalam David Ray
* Kecuali komputer dan
elektronik
Selanjutnya, berdasarkan
hasil penelitian Drysdale (1997), ternyata sumber pertumbuhan ekonomi
negara-negara Asia Timur adalah seperti terlihat pada Tabel 5.4.
Dibandingkan dengan hasil penelitian di atas, maka hasil perhitungan
dengan menggunakan data tahun 1969 – 1993 untuk Indonesia, ternyata
menunjukkan perbedaan yang cukup besar terutama menyang-kut kontribusi
investasi yang besarnya 44,79 persen, tenaga kerja sbesar
51,20 persen dan kemajuan teknologi sebesar 4,01 persen.
Hasil penelitian Drysdale di atas menunjukkan bahwa, kontribusi
masing-masing faktor produksi tidak menunjukkan perbedaan yang besar
kecuali untuk Malaysia dan Fhilipina, dimana kemajuan teknologi atau Total
Factor Productivity-nya sangat rendah dan dari data tahun
1969-1993, ternyata kontribusi kemajuan teknologi terhadap pertumbuhan
ekonomi Indonesia tergolong sangat rendah. Meskipun demikian
kontribusinya lebih besar dibandingkan dengan di Malaysia.
Dari perbandingan di atas
terlihat bahwa, kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi dari
hasil penelitian Boskin dan Lau adalah pada kemajuan teknologi (TPF).
Penelitian serupa di Asia Timur (Drysdale.1997) oleh beberapa peneliti
seperti Bosworth, Collins dan Chen (1995) menunjukkan bahwa kontribusi
kemajuan teknologi (TFP) di Asia Timur selama periode 1960-1990 cukup
tinggi.
Tabel 5. Sumber pertumbuhan negara Asia Timur
1950-1990 (%/thn)
Negara
|
Periode
|
Pertum-buhan
GDP
|
Modal
|
Tenaga
kerja
|
TPF
|
Hongkong
|
1960-1990
|
9,0
|
31,11
|
34,44
|
34,44
|
Korea
|
1953-1990
|
7,4
|
39,19
|
32,43
|
28,38
|
Taiwan
|
1950-1990
|
8,6
|
30,23
|
36,05
|
33,72
|
Singapura
|
1950-1990
|
7,7
|
50,65
|
38,96
|
10,38
|
Indonesia
|
1662-1990
|
6,7
|
38,81
|
29,85
|
31,34
|
Malaysia
|
1950-1990
|
6,0
|
60,00
|
48,33
|
-833
|
Philipina
|
1950-1990
|
4,9
|
48,98
|
46,94
|
4,08
|
Thailand
|
1950-1990
|
5,8
|
29,31
|
41,38
|
29,31
|
Sumber: Drysdale.
1997, p. 208.
Dengan rendahnya kontribusi
kemajuan teknologi terha-dap pertumbuhan ekonomi Indonesia, menunjukkan
bahwa investasi di Indonesia tidak dapat meningkatkan produktivitas.
Produkti-vitas akan dapat ditingkatkan apabila investasi tidak hanya
ditujukan pada peningkatan barang modal, tetapi juga ditujukan pada
pengembangan teknologi. Menurut Gomory (Haidy.CS. 1995:251), ada dua
proses yang berbeda dalam inves-tasi pada teknologi, yakni “proses
inovasi tangga” (“ladder” innovation process) dan “proses
siklus” (cycle process). Proses yang pertama berbentuk
sumbangan yang besar dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini investasi
dilakukan dalam bentuk penerapan dari berbagai hasil penemuan ilmu
pengetahuan. Proses kedua terdiri dari sejumlah inovasi kecil dalam
proses produksi maupun produk sehingga cenderung lebih padat modal dari
pada proses yang pertama.
2. Sumber
Pertumbuhan dengan Pendekatan Struktural
Menganalisis sumber
pertumbuhan ekonomi dengan meng-gunakan pendekatan struktural berbeda
dengan pendekatan faktor produksi seperti pada teori pertumbuhan Klasik
maupun pada teori pertumbuhan Neo-Klasik. Pendekatan struktural
didasarkan pada adanya perbedaan produktivitas diantara sektor-sektor
ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bukan hanya berasal dari peningkatan secara
keseluruhan dari faktor produksi (input), tetapi juga berasal
dari pengalokasian sumber-sumber daya pada sektor-sektor produktif.
Pembangunan ekonomi harus bertujuan untuk menemukan sektor-sektor yang
mempunyai kaitan total paling besar (Jhingan. 1990;247).
Bentuk analisis komperatif
struktural ini telah banyak dilakukan, diantaranya oleh Kuznets pada
tahun 1957. Dalam penelitiannya, Kuznets melakukan identifikasi terhadap
sejumlah ciri struktural yang umum (stylized facts) yang
mengisyaratkan adanya berbagai kendala pokok yang mempengaruhi
keberha-silan proses perubahan (transformation). Dalam
analisisnya, Kuznets melakukan pemilihan komoditi dan sektor menurut
pola permintaan, sifat dapat-tidaknya diperdagangkan komoditi tersebut
dan penggunaan faktor produksi.
Dari penelitian Kuznets
tahun 1966 diperoleh hasil bahwa, pada sektor pertanian terjadi
pertumbuhan produksi yang melamban dalam pertumbuhan produksi nasional.
Sebaliknya tingkat pertumbuhan sektor industri lebih cepat dari tingkat
pertumbuhan produksi nasional. Selanjutnya, di sektor jasa tidak terjadi
perubahan, artinya pertumbuhan sektor jasa sama dengan pertumbuhan
produksi nasional.
Dilihat dari kondisi
struktur produksi perekonomian Indonesia, terlihat bahwa perekonomian
Indonesia sudah meng-arah pada perubahan struktur ekonomi atau
transformasi eko-nomi. Perubahan struktural dan proses pertumbuhan
ekonomi dapat dijelaskan dengan mengkaji kontribusi masing-masing sektor
ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan pengukuran
yang telah dilakukan oleh Sundrum terhadap kontribusi masing-masing
sektor ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia selama beberapa
tahun (Hal Hill. 2001), pada awal pembangunan ekonomi Indonesia atau
masa pemulihan ekonomi tahun 1967-1973, sektor pertanian dan sektor
perdagangan memberikan kontribusi ter-besar yaitu 28,2 persen untuk
sektor pertanian dan 25,4 persen untuk sektor perdagangan. Baru kemudian
sektor pertambangan (12,8 persen), sektor industri (manufakture)
10,0 persen dan sektor industri 7,3 persen, sedangkan sektor lainnya
memberikan kontri-busi di bawah 5 persen terhadap pertumbuhan ekonomi
Indone-sia. Pada awal pembangunan PJP I (1967-1973), tingkat
pertum-buhan ekonomi Indonesia secara rata-rata adalah sebesar 7,9
persen per tahun.
Pada masa kejayaan minyak
bumi (oil boom) 1973-1981, sektor industri (manufacture)
merupakan satu-satunya sektor yang memberikan kontribusi terbesar
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia yaitu sebesar 22,9 persen.
Sedangkan sektor pertanian dan sektor perdagangan, menunjukkan penurunan
kontribusi yaitu dari 28,2 persen pada awal pembangunan menjadi 16,4
persen pada masa oil boom dan sektor perdagangan menurun dari
25,4 persen menjadi 17,2 persen. Meskipun kontribusi sektor pertanian
mengalami penurunan, tetapi secara absolut kontri-businya masih besar.
Sektor pertambangan yang
merupakan sektor yang meng-hasilkan minyak justru kontribusinya
menunjukkan penurunan yang cukup signifikan pada masa oil boom
yaitu dari 12,8 persen pada awal pembangunan turun menjadi 4,9 persen.
Penurunan kontribusi sektor pertambangan pada masa oil boom
(masa kejayaan minyak bumi), hal ini disebabkan karena peningkatan pada
sektor pertambangan yang disebabkan karena peningkatan harga minyak,
bukan kerana adanya peningkatan kuantitas output fisik dari
sektor pertam-bangan. Pada masa oil boom, sektor pemerintahan
menunjukkan peningkatan yang sangat signifikan yaitu dari 3,8 persen
pada awal pembangunan, menjadi 12,6 persen pada masa oil boom
pada masa oil boom. Pada masa oil boom ini, tingkat
pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata sebesar 7,51 persen per tahun.
Tabel 6. Kontribusi sektoral terhadap pertumbuhan
GDP Indonesia selama periode 1967 – 1992 (% terhadap GDP riil)
Sektor
|
Masa
Pemulihan
1967-1973
|
Masa
Oil
boom
1973-1981
|
Masa
Resesi
1982-1986
|
Masa
Pertum-
buhan
ekspor
1987-1992
|
Pertanian
|
28,2
|
16,4
|
23,2
|
10,4
|
Pertambangan
|
12,8
|
4,9
|
5,0
|
7,4
|
Manufaktur
|
10,0
|
22,9
|
28,9
|
29,2
|
Fasilitas
Umum
|
0,6
|
1,1
|
2,5
|
1,2
|
Kontruksi
|
7,3
|
8,8
|
2,0
|
9,3
|
Perdagangan
|
25,4
|
17,2
|
12,5
|
18,3
|
Transfortasi
|
4,2
|
8,0
|
10,5
|
7,3
|
Keuangan
|
4,3
|
2,8
|
4,7
|
7,1
|
Perumahan
|
1,6
|
4,3
|
3,2
|
1,6
|
Adm.Pemerintahan
|
3,8
|
12,6
|
15,5
|
5,4
|
Jasa
Lainnya
|
1,6
|
1,1
|
2,2
|
2,8
|
Total
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
100,0
|
Rata-rata
Pertum- buhan GDP (%)
|
7,9
|
7,51
|
4,01
|
6,73
|
Sumber : Sundrum dalam
Hal Hill (2001, p.31)
Setelah terjadi oil
boom pada tahun 1973-1981, maka dengan tingginya harga minyak
menyebabkan banyak negara-negara besar seperti Amerika dan negara-negara
lainnya menga-lami kelesuan ekonomi atau dikenal dengan Resesi
Ekonomi pada tahun 1982. Pada masa resesi, pertumbuhan
ekonomi Indonesia mengalami penurunan dari rata-rata 7,9 persen per
tahun pada periode 1967-1973 menjadi rata-rata sebesar 7,51 persen per
tahun pada masa oil boom (1973-1981) kemudian turun cukup
signifkan menjadi rata-rata sebesar 4,01 persen per tahun pada masa
resesi (1982-1986). Pada masa resesi ini, sektor pertanian
masih merupa-kan salah satu sektor yang memberikan kontribusi terbesar
nomor dua yaitu sebesar 23,2 persen terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia setelah sektor industri yang memberikan kontribusi terbesar
yaitu 28,9 persen. Urutan ketiga terbesar dalam memberikan kontribusi
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa resesi itu yaitu sektor
pemerintahan dengan kontribusi sebesar 15,5 persen dan urutan ke empat
adalah sektor perdagangan dengan memberikan kontribusi sebesar 12,5
persen.
Pada periode 1987-1992
yang disebut sebagai periode pertumbuhan ekspor oleh Hal Hill (2001),
tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia naik dari 4,01 persen
pada masa resesi menjadi rata-rata 6,73 persen per tahun pada
masa pertum-buhan ekspor. Pada masa pertumbuhan ekspor ini, sektor yang
memberikan kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia
adalah sektor manufaktur atau sektor industri dengan kontribusi sebesar
29,2 persen. Sektor terbesar kedua yang mem-berikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi adalah sektor perdagangan dengan kontribusi 18,3
persen dan diikuti oleh sektor pertanian dengan kontribusi sebesar 10,4
persen.
Berdasarkan periode atau
masa seperti terlihat pada Tabel 5, ada tiga sektor ekonomi yang
merupakan sektor terbesar dalam memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertama adalah sektor manufaktur atau
sektor idustri yang secara konsisten terus menunjukkan peningkatan.
Kedua adalah sektor perdagangan yang memberikan kontribusi yang besar
meskipun cukup berfluktuatif. Sektor pertanian merupakan sektor ketiga
terbesar dalam memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi
Indonesia selama periode 1967 hingga 1992, meskipun kontribusinya
cenderung menurun.
Selain Kuznest, Chenery
dan Syrquin, Sundrum (1990:35) telah pula menggunakan model pertumbuhan
yang bercirikan transformasi struktur ekonomi untuk mengetahui
sumber-sumber pertumbuhan dengan pendekatan sektoral. Model yang
digunakan Sundrum tersebut adalah sebagai berikut:
Gy = ( kaGa +
kmGm + ksGs )
Gy = pertumbuhan ekonomi
ka = proporsi sektor pertanian terhadap
pertumbuhan ekonomi.
km = proposi sektor industri terhadap
pertumbuhan ekonomi.
ks = proposi sektor jasa terhadao pertumbuhan
ekonomi
Ga = pertumbuhan sektor pertanian.
Gm = pertumbuhan sektor industri.
Gs = pertumbuhan sektor jasa.
Dengan menggunakan model
ini, Sundrum mencoba untuk mengukur sumber-sumber pertumbuhan ekonomi
secara sektoral, baik di negara-negara industri maupun di negara-negara
berkembang dalam tiga dekade terakhir. Dengan menggunakan model di atas
pada negara-negara industri maupun di negara-negara berkembang dalam
tiga dekade terakhir Sundrum memperoleh hasil analisis sebagai berikut:
Tahun 1950-an
Gy = -0,31 ka + 8,19 km + 0,71 ks
Tahun 1960-an
Gy = -0,15 ka + 12,54 km – 0,64 ks
Tahun 1970-an
Gy = -0,15 ka + 5,15 km + 2,24 ks
Hasil diatas menerangkan
bahwa, selama tiga dekade terakhir ternyata sektor industri selalu
memberikan pengaruh yang positif dan lebih besar dibandingkan dengan
sektor perta-nian dan sektor jasa terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil
tersebut menunjukkan pula bahwa, kontribusi sektor pertanian selalu
menunjukkan penurunan terhadap pertumbuhan ekonomi, sedangkan sektor
jasa hanya pada tahun 1960-an yang menunjukkan penurunan, selebihnya
terus menunjukkan pening-katan meskipun tidak begitu signifikan.
3. Sumber
Pertumbuhan Pendekatan Pengeluaran
Seperti yang telah
diuraikan sebelumnya bahwa, pertum-buhan ekonomi dapat diukur dari
perkembangan PDB dari tahun ke tahun, sedangkan untuk menghitung PDB
dapat digunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan pengeluaran
atau penggunaan berdasarkan persamaan identitas Y = C + I + G + X – M,
pendekatan faktor produksi (Y = fungsi dari Kapital,
Tenaga Kerja, dan Teknologi) dan pendekatan sektoral.
Pengukuran sumber-sumber pertumbuhan dengan pendekatan produksi dan
sektoral telah diungkapkan pada uraian di atas. Berikut ini akan dilihat
pula berapa besar kontribusi masing-masing unsur pengeluaran agregat
terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Untuk analisis ini, hanya
digunakan tahun-tahun setelah masa krisis ekonomi Indonesia pada
pertengahan tahun 1997 lalu.
Tabel 7. Kontribusi struktur pengeluaran terhadap
pertum-buhan ekonomi Indonesia pada tahun 2000 – 2005
Rincian
Pengeluaran
|
2000
|
2001
|
2002
|
Pertumbuhan
PDB
|
4,9 %
|
3,6 %
|
3,7 %
|
Konsumsi
|
3,9 %
|
4,8 %
|
5,5 %
|
Konsumsi
Masyarakat
|
3,6 %
|
4,4 %
|
4,7 %
|
Konsumsi
Pemerintah
|
6,5 %
|
9,0 %
|
12,8 %
|
Pembentukan
modal tetap
|
13,8 %
|
7,7 %
|
-0,2 %
|
Ekspor
|
26,5 %
|
1,9 %
|
-1,2 %
|
Impor
|
21,1 %
|
8,1 %
|
-8,3 %
|
Sumber : Bank
Indonesia 2002 (diolah)
Pada tahun 2000, semua
unsur pengeluaran agregat mem-berikan kontribusi yang positif terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Kontribusi yang positif tersebut, terus
berlanjut pada tahun 2001. Namun demikian, pada tahun 2002 meskipun
pertumbuhan ekonomi relatif tetap, tetapi pembentukan modal tetap
(investasi), ekspor dan impor memberikan kontribusi yang negatif
terhadap pertumbuhan ekonomi. Kontribusi yang terbesar adalah dari
konsumsi, terutama konsumsi pemerintah. Lemahnya respon kegiatan
investasi yang memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang
lebih tinggi dari pada konsumsi disebabkan karena tingkat investasi
yang masih rendah. Rendahnya realisasi investasi di Indonesia tidak
terlepas dari iklim investasi yang masih belum kondusif, disamping masih
relatif tingginya suku bunga kredit investasi.
Setelah masa krisis ekonomi terlihat bahwa, konsumsi
merupakan motor penggerak (engine of growth) bagi pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh konsumsi bukan
saja tidak memberikan efek ganda (multiplier effect) yang
lebih tinggi, tetapi juga tidak akan meningkatkan perekonomian makro
dengan baik. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, perekonomian Indonesia
masih sangat tergantung pada pengeluaran konsumsi terutama pada konsumsi
pemerintah. Jika hal ini terus terjadi, maka sulit bagi Indonesia untuk
meningkat-kan kinerja ekonominya dengan baik atau bangkit dari krisis
ekonomi.
DAFTAR
RUJUKAN
Alfian Lains., 1990. Fungsi
Produksi Cobb-Douglas Pada Industri Semen di Indonesia. Ekonomi
dan Keuangan Indonesia. Vol. XXXVII. No.3., : 243-280.
Boskin, Michael J. and
Lawrence J. Lau. 1992, “Capital, Technologi, and Economic Growth“,
dalam Rosenberg, Landau dan Mowery (Eds).
Boswort, Barry, Collins,
Susan. M and Chen, Yu-chin., 1995. “Accounting for Differences in
Economic Growth”. Papers Institut of Developing Economics, Tokyo
5-6 November .
Chenery. H., and M.
Syrquin., 1975. Patterns of Development, 1950-1970. Oxford
University Press.
David Ray., 1995. Paradigma
“New Growth” Teori dan Implika-sinya Terhadap Kebijakan. Prisma
No. 3 Maret: 63-76.
————–., 1996. Kemampuan
Teknologi Industri Ekspor Indonesia. Papers (tidak
dipublikasikan).
Denison, Edward F,. 1962. “The
Sorces of Economic Growth in the United State” The Jounal of
Business. April.
————————., 1964. “The
Unifortance of Embodied Question”. American Economic Review. March.
———————–., 1967. “Sources
of Postwar in Nine Western Countries”. American Economic Growth,
1929-1982” U.S. Depertement of Labor. Multyfactor Productivity Measure,
1988 and 1989. March.
Dillon., H.S., 1999. Strategi
Pemulihan Ekonomi Indonesia Melalui Pengembangan Agroindustri.
Paper Road Show ISEI, Pebruari. Bandung.
Drysdale, Peter and Yiping
Huang., 1997. “Technological Cath-Up and Economic Growth in East
Asia and The Pacific”. The Economic Record. Vol 73 No. 222
September; 201-211.
Feder, Gershon., 1986. “Growth
in Semi Industrial Countries: A Statistical Analysis” in Hollis
Chenery, CS. 1986.
Haidy, N. Pasay., Gatot
Arya Putra, Suahasil Nazara. 1995. “Produktivitas Sumber Daya dan
Teknologi” dalam Arsyad (Editor) Prospek Ekonomi Indonesia Jangka
Pendek Sumber Daya, Teknologi dan Pembangunan. Gramedia.
Hal Hill ., 2001. Ekonomi
Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada.Jkt.
Hicks, John. R., 1965. Capital
and Growth. New York: Oxford University Press.
Jhingan M.L. 1990. Ekonomi
Pembangunan dan Perencanaan. Terjemahan D. Guritno, SH. Rajawali
Pers. Jakarta.
Kuznets, Simon., 1969. Economic
Growth and Structure: Selected Essay. Indian Edition. Oxford &
IBH Publishing Co New Delhi.
Solow, Robert M. 1956. Suatu
Sumbangan Terhadap Teori Pertumbuhan Ekonomi.
(terjemahan) dalam Faisal Kasryno dan Joseph F. Stepanek, 1985. Dinamika
Pembangunan Pedesaan. Yayasan Obor dan PT. Gramedia, Jakarta.
Sundrum, R.M., 1990. Economic
Growth in Theory and Practice. The Macmillan Press Ltd.
Solow, Robert M., 1985. “Suatu
Sumbangan Terhadap Teori Pertumbuhan Ekonomi”. Dinamika
Pembangunan Pedesaan. Faisal Kasryno dan Joseph F Stepanek. Yayasan Obor
dan Gramedia. Jakarta.
Sumber : http://amriamir.wordpress.com/2008/09/03/sumber-sumber-pertumbuhan-ekonomi-indonesia/